TERAPI BERMAIN DAN TERAPI SOSIAL


BAB II
PEMBAHASAN
A. Terapi Bermain
1. Pengertian Bermain
Membicarakan anak tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang bermain. Bermain adalah dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang mereka inginkan. Tak diragukan bahwa anak-anak bermain sepanjang waktu yang mereka miliki.
Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, keterampilan komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak. Bermain juga dikatakan sebagai media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal, eksperimen dalam peran orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri. Bermain adalah bentuk ekspresi diri yang paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia. Bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat kompleks dan multi-dimensional, yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan dan perkembangan anak, yang lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan dengan kata-kata.
Studi mengenai bagaimana anak bermain telah mengungkapkan bahwa bermain selama masa kanak-kanak memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dari permainan remaja dan orang dewasa. Walaupun karakteristik ini mungkin sedikit bervariasi pada masing-masing anak, aspek utamanya sangat serupa, sehingga praktis dapat dianggap universal sampai sekarang.
Ketika anak tumbuh dan berkembang, permainan mereka bergerak jauh dari fantasi menuju ke kenyataan. Dengan bertambahnya kemampuan untuk berpikir logis dan dapat menggunakan alasan, merupakan persiapan untuk perkembangan anak dalam tahap “bermain dengan aturan”. Bermain bebas dan spontan merupakan bentuk bermain aktif yang merupakan wadah anak-anak untuk melakukan apa,kapan, dan bagaimana mereka ingin melakukan. Tidak ada kaidah dan peraturan. Anak-anak terus bermain selama kegiatan itu menimbulkan kegembiraan, kemudian berhenti bila perhatiaan dan kegembiraan dari permainan itu berkurang. Dalam permainan yang hanya untuk kesenangan mempunyai aturan yang lebih leluasa, dimana anak sering mengubah atau bahkan melanggar. Tetapi, ketika anak lebih dewasa, aturan menjadi lebih ketat dan kompetensi lebih tajam (Djiwandono, 2005).
2. Permaianan sebagai Terapi
Dalam semua kemungkinan semua terapis pada umumnya setuju bahwa pengalaman terapeutik yang “sukses” untuk anak akan menyebabkan perubahan yang nyata dan berpengaruh pada tingkah laku anak fisik sama seperti psikologi.
Teknik terapi bermain terlibat karena anak-anak belum dapat mengekspresikan diri mereka sendiri secara tepat pada tingkat verbal. Bermain dapat membantu anak dalam perkembangan mereka dan merupakan teknik yang efektif untuk mengontrol lingkungan mereka yang tampaknya memberikan suatu kesempatan untuk bereaksi dengan orang dewasa yang berbeda sikap dengan mereka.
Penggunaan bermain dalam terapi anak dapat diadaptasi menurut orientasi teori yang dianut konselor atau terapi. Dua pendekatan utama terapi bermain adalah psikodinamika dan client centered. Bentuk terapi bermain dikembangkan melalui pekerjaan Anna Freud dan Melanie Klein; kemudian yang paling dekat diidentifikasikan dengan tulisan Virginia Axline. Ada perbedaan dan persamaan antara dua pendekatan ini.
Terapi bermain berkembang secara perlahan dari usaha awal mengadaptasi psikoanalisis untuk menyembuhkan anak. Sesudah ditemukan bahwa anak-anak tidak dapat menggunakan asosiasi bebas untuk menjelaskan kecemasan mereka. Melanie Klein dan Anna Freud menggabungkan kegiatan bermain ke dalam proses terapeutik. Klein menggunakan permainan sebagai suatu kegiatan dalam menganalisis pekerjaan nyata. Klein melihat arti yang tidak disadari dan simbol seksual dalam sebagian besar kegiatan permainan dan ini diinterpretasikan kepada anak. Sebaliknya, Anna Freud tidak percaya bahwa semua permaianan mempunyai arti simbolik dan karena itu dia menggunakan permainan sebagai dasar untuk menginterpretasi.
Alfred Adler adalah ahli teori pertama yang melepaskan diri dari pikiran psikoanalisis tradisional. Adler lebih menempatkan pentingnya sosial dan dinamika antara pribadi dalam perkembangan kepribadian. Walaupun teori Adler diadaptasi oleh anak-anak dan keluarga mereka, tidak ada model untuk terapi bermain yang ada sampai sekarang. Hottman (dalam Djiwandono, 2005) mengadaptasi teori Adlerian dalam proses dan teknik yang digunakan pada anak dalam terapi bermain, dengan menyusun suatu pendekatan perkembangan yang dapat digunakan dalam berbagai setting. Beberapa teknik terapi bermain Adlerian, seperti tracking, restatement of content, reflection of feeling, and encouragement, dapat digunakan dalam terapi bermain, tanpa memandang orientasi teori terapis. Terapis yang bebas dan terstruktur, seperti yang dikembangkan oleh Levy dan Hambridge (dalam Djiwandono, 2005), memperkenalkan atau menciptakan situasi kehidupan yang menghasilkan kecemasan dalam bermain. Model-model ini ada yang kurang menekankan pada hubungan, seperti terapis mempersiapkan dan mengarahkan urutan permainan yang terstruktur, yang mendorong kebebasan emosional melalui katarsis. Terapi bermain client centered berdasarkan pada kepercayaan terapis dalam memperjuangkan anak secara wajar terhadap kesehatan dan pertumbuhan. Virginia Axline (dalam Djiwandono, 2005) memodifikasi pendekatan client centered (berpusat pada klien) Carl Rogers ke dalam suatu teknik terapi bermain. Model pertumbuhan ini tergantung pada kreasi dari kehangatan dan lingkungan terapeutik yang penuh perhatian dan suatu kepercayaan kepada kemampuan anak untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Pada tahun 1960-an Bernard dan Louise Guerney mengembangan teknik pembaruan yang dikenal sebagai terapi filial (yang berhubungan dengan anak). Pendekatan terapi bermain client centered ini melibatkan orangtua yang sudah terlatih dalam mengatr pertemuan tiap minggu untuk bermain dengan anak-anak mereka dirumah. Dalam pertemuan bermain antara orang tua dan anak, anak-anak didorong untuk mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran,dan perasaan kepada orang tua mereka melalui terapi bermain. Selama proses orang tua dan anak-anak diharapkan mengubah persepsi mereka satu sama lain. Jika orang tua menjadi lebih toleran dan menerima anak sebagaimana adanya,anak-anak akan tumbuh menjadi orang yang percaya diri dan mempunyai perasaan untuk menghargai diri mereka sendiri.
3. Terapi Bermain
Menurut teori perkembangan anak, yaitu teori kecerdasan jamak atau multiple intelligence dari Gardner menyatakan bahwa seorang anak dalam perkembangan inteligensi yang meliputi inteligensi linguistik (bahasa), kemampuan taktil atau bodily tactile aeareness, interpersonal, intrapersonal, dan berhitung. Dalam hal ini hendaknya orang tua, guru, dan orang-orang yang peduli anak autisme mengupayakan bimbingan ke arah upaya mendapatkan pengalaman-pengalaman nyata yang sesuai dengan keberadaan lingkungan setempat. Jadi, dalam pemberian kesempatan belajar anak autisme diikuti dengan kegiatan bermain.
Kita menyadari bahwa otak anak autisme seharusnya dapat mempelajari pengalaman positif dari lingkungan hidupnya secara aman dengan melibatkan sensoris tubuhnya secara penuh. Oleh karena itu, terapi bermain yang diterapkan kepada anak autisme tertuju pada penekanan-penekanan terhadap hal-hal berikut.
a) Permainan yang cocok.
b) Sensoris motor.
c) Dilakukan dengan gembira dan berfungsi sebagai wahana hubungan kasih sayang di antara keluarga.
d) Mudah dilakukan, bersifat ekonomis, dan mudah dibuat atau diperoleh.
Penekanan terhadap sensori motor untuk terapi bermain dirancang serta diterapkan sesuai dengan sensasi gerak berbentuk informasi dan pesan-pesan sensoris. Pesan-pesan sensoris dari lingkungan kehidupan yang datang ke tubuh anak autisme akan diproses dan diintegrasikan oleh otak melalui sistem saraf pusat (CNS) ke seluruh organ tubuh. Kemudian, menjadi respon berupa gerakan-gerakan yang berarti serta sesuai dengan pikiran dan perasaan.
Bagi anak autisme pesan-pesan informasi sensoris sulit dihubungakan ke sensori motor karena ada kemacetan pada sensori motornya. Dalam ilmu anatomi dan faal tubuh, telah diketahui bahwa semakin banyak otak menerima rangsangan-rangsangan pengalaman sensoris sejak usia dini, maka kelak anak yang bersangkutan semakin mudah mempelajari fungsi-fungsi tubuh dalam memebuhi kehidupan sehari-hari.
Terapi permainan yang diberikan kepada anak autisme harus cocok atau sesuai. Yang dimaksud dengan kecocokan atau appropiate adalah semua kegiatan terapi permainan harus diprogram dan dapat dilaksanakan dengan keberadaan anak autisme. Dengan demikian, tugas-tugas yang diberikan sebagai bentuk kegiatan latihan terapi dapat dilakukan secara aman, meningkatkan kesehatan, dan membantu kepuasan diri anak autisme sesuai dengan harapannya.
Program terapi bermain biasanya diikuti dengan irama gerak yang ritmis sesuai dengan unsur-unsur gerak tubuh berdasarkan persepsi gerak atau perceptual motor therapy. Hal ini dilakukan agar anak autisme dapat melatih keterampilan gerak gross motor, fine motor, visual dan perencanaan gerak atau motor planning.
Terapi bermain memerlukan sebuah kamar bermain dan bahan-bahan untuk bermain. Kamar harus berwarna cerah, menyenangkan dan jika mungkin kedap suara. Dinding dan lantai seharusnya dari bahan-bahan yang mudah di bersihkan dan bahan-bahan yang kuat seperti tanah liat, cat dan palu kayu. Tempat mencuci dengan air dingin atau air panas sebaiknya tersedia. Untuk penelitian dan tujuan pelajaran, kamar terapi dapat dilengkapi dengan tape recording. Kamar terapi juga bisa di lengkapi dengan kaca yang dapat dilihat hanya dari satu sisi dan suara percakapan anak dan terapis dapat didengar dan direkam, observasi dapat dibuat tanpa anak menyadari akan kehadiran observer. Jika observasi dibuat tentu saja syarat-syarat kode etik harus dipenuhi.
Daftar bahan-bahan yang digunakan untuk bermain secara sukses dalam terapi bermain berkembang terus setiap tahun. Klein (dalam Djiwandono, 2005) hanya menggunakan beberapa mainan yang masih primitif yang diletakan dimeja yang rendah. Axline (dalam Djiwandono, 2005) memberikan daftar yang panjang bahan dan mainan apa saja yang bisa digunakan dalam permainan anak-anak. Banyak mainan yang lain telah digunakan dengan sukses. Mungkin bijaksana jika terapis bisa memilih mainan yang begitu banyak bervariasi, sehingga anak bisa menemukan mainan yang cocok dan sebagai medium yang menyenangkan untuk mengungkapkan perasaanya.
Beberapa terapis mempunyai kamar khusus untuk terapi bermain, dan yang lain tdak mempunyai kamar khusus. Membawa barang-barang mainan dalam tas mereka. Terapis yang beruntung yang mempunyai kesempatan untuk merencanakan atau mendekorasi tempat khusus untuk terapi anak. Kamar-kamar ini lengkap dengan meja kursi dan sebagainya, sebagai contoh cara memenuhi kebutuhan anak dan terapis dalam berbagai lingkungan. Siapapun terapisnya mempunyai tujuan yang sama dalam menciptakan suasana terapeutik yang dapat mengubah klien atau anak. Bagian dari suasana ini tergantung pada jenis mainan dan materi-materi yang dipilih.


a. Memilih mainan dan materi mainan
Ketika terapis siap untuk mulai terapi bermain, dia membutuhkan beberapa mainan dan materi mainan untuk memudahkan komunilasi dengan anak. Materi atau bahan mainan harus dipilih atau diseleksi untuk memudahkan terapeutik pada anak. Mainan harus sederhana, memunyai konstruksi yang kuat dan sehat, mudah bagi anak memanipulasi dan diperkuat dengan imajinasi daripada dengan baterai. Pilih mainan yang mengarah pada stimulasi kognisi, motorik, sosial dan bahasa. Buku dari kain atau plastik, misalnya, bisa merangsang perkembangan bahasa karena ada gambar dan hurufnya. Anak juga bisa mengenal bentuk, warna, tekstur, bahkan bunyi. Rangsangan ini akan membuat sambungan-sambungan listrik di otak membentuk susunan syaraf mirip pohon yang rimbun. “semakin banyak memperoleh stimulus, semakin rimbun susunan syarafnya, dan kian cerdas pula si anak”. Manfaat yang maksimal ini bisa diperoleh jika orang tua mendampingi anak saat dia bermain.
Ginott (dalam Djiwandono, 2005) salah satu ahli klinis pertama mengembangkan secara rasional dalam memilih mainan, percaya bahwa mainan harus :
a) Memudahkan dalam mengembangkan kontak dengan anak.
b) Membangkitkan dan mendorong katarsis.
c) Membantu mengembangkan insight
d) Melengkapi dalam mengetes realita
e) Sebagai media untuk terjadinya perubahan.
Landreth (dalam Djiwandono, 2005) memilih mainan secara komprehensif dan yang paling rasional, menetukan materi permainan yang memudahkan anak mengekspresikan secara kreatif dan emosional, menstimulasi minat anak dan membiarkan anak mengeksplorasi dan mengekspresikan diri dalam kegiatan yang tida terstruktur.
b. Mainan untuk memudahkan ekspresi
“Mainan adalah kata-kata anak-anak dan bermain adalah bahasa mereka”. Oleh karena itu terapis, harus memberikan mainan yang dapat memudahkan anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam rentangan yang luas. Menurut Ginott (dalam Djiwandono, 2005) suatu ide yang baik untuk memberikan mainan dimana anak-anak tidak biasa dibiarkan bermain dirumah. Adanya mainan-mainan ini menyatakan suatu sikap yang permisif dan membantu terapis mengerti dunia inner anak.
c. Mainan mendorong kreativitas
Beberapa mainan, sudah menjadi sifat dasarnya mendorong kreativitas. Sebuah kotak yang sudah tua dipojok dapat menjadi rumah boneka jika rumah boneka tidak tersedia. Dalam memilihmainan, terapis ingin menyimpan dalam pikirannya barang-barang yang sederhana, yang kadang-kadang dapat membangkitkan imajinasi.
d. Mainan dapat menyalurkan emosi
Anak dapat menggunakan pasir, air, cat dan tanah liat untuk menyalurkan perasaannya yang kuat dimana mereka tidak berani mengkomunikasikan lebih terbuka. Anak dibiarkan untuk mengubah identitas bahan-bahan atau materi mainan dalam khayalan mereka dalam menciptakan sesuatu yang kreatif. Untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tanah liat, pasir dan cat dapat dijadikan untuk “menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin dinyatakan dan dilakukan karena memalukan”. Anak memerlukan tempat yang aman dalam mengeksplorasi dan menyalurkan perasaan, seperti dalam permainan pasir dan air dapat membuat tenang, rileks, dan bahagia pada beberapa anak.
e. Mainan dapat mengekspresikan sifat agresif.
Mainan senjata, pisau karet, pedang plastik, perisai dari kayu, palu dan catut menggambarkan kepada anak-anak suatu arti yang mengekspresikan permusuhan dan agresif. Menembak, menusuk, memukul dan meninju dengan keras adalah ekspresif simbolik dari kemarahan dan jika anak diberikan kebebasan bermain mungkin akan memberikan Terapeutik Katarsik dan kesempatan untuk mengumpulkan energi.
f. Bermain dikontrol versus bermain bebas
Ada perbedaan pendapat apakah bermain seharusnya dikontrol atau bebas. Levy (dalam Djiwandono, 2005) merasa bahwa mengontrol mainan dengan menyeleksi mainan-mainan tertentu, dapat digunakan untuk memecahkan konflik-konfliknya.
Axline dan Mousetakas (dalam Djiwandono, 2005) berpegang pada anak boleh memilih secara bebas permainan yang mereka sukai. Mereka mengatur kamar bermain dengan cara-cara sama untuk semua anak, dengan semua alat-alat yang tersedia yang dapat digunakan oleh anak-anak secara bebas. Memilih materi mainan secara spontan mengurangi kepalsuan, anak memilih medianya sendiri dan melanjutkan sesuai dengan kecepatannya. Terapis bahkan tidak boleh tahu masalah yang dihadapi oleh anak. Bermain bebas dan bermain dikontrol, kelihatannya mempunyai keunggulan dalam membantu anak memecahkan masalahnya.
4. Efektifitas Terapi Bermain
Dengan melakukan latihan-latihan yang dibimbing oleh para ahli terapi tersebut anak autisme dapat melakukan gerak dan memahami semua informasi yang datang melalui otaknya dengan cara bermain yang bersifat menggembirakan, bermakna dan dilakukan secara ilmiah. Hal ini dimaksudkan agar usaha yang dilakukan terapis dapat meningkatkan respon-respon adaptif yang rumit. Penekanan bentuk terapi semacam ini untuk peningkatan keberfungsian hubungan mesra antara anak dengan anggota keluarga. Permainannya dapat meningkatkan kemapuan dasar untuk bergerak bersamaan dengan penggunaan daya pandang. Hal penting lainnya, bahwa kegiatan terapi ini hendaknya dapat diterapkan dengan mudah, sesuai dengan keperluan, memenuhi persyaratan ekonomis, ramah lingkungan, dan sesuai dengan hasrat hati anak autisme. Terapi bermain, seperti bermain dengan alat sederhana dapat membantu orangtua untuk berinteraksi secara aktif dengan anak autisme. Terapi bermain meningkatkan kemampuan anak untuk bersosialisasi, berkomunikasi, gerak dan kognisi, imajinasi, sensori dan integrasi.
E. Hasil Analisis Penulis
Peneliti menyadari bahwa autisme tidak ada obatnya, akan tetapi dengan diagnosis dan intervensi yang lebih awal, peningkatan yang terkadang substansial dapat terjadi. Autisme merupakan gangguan yang ditandai dengan keterlambatan dan gangguan yang parah pada beberapa area perkembangan, seperti pada interaksi sosial, komunikasi dengan orang lain, perilaku bermain, aktivitas sosial, dan minat sehari-hari. Terapi bermain merupakan salah satu terapi yang cocok digunakan untuk mengurangi gejala pada anak penyandang autisme dari sekian banyak terapi yang dapat diberikan kepada penyandang autis. Dengan terapi bermain, anak dilatih ketrampilan gerak gross motor, fine motor, visual dan perencanaan gerak atau motor planning. Yang perlu kita ingat, yaitu kegiatan terapi sebaiknya dilakukan dengan gembira dan berguna untuk melakukan jalinan hubungan kasih sayang diantara keluarga anak autisme. Sehingga interaksi sosial anak autisme pun dapat meningkat.

B. Teori Terapi Sosial
Terapi keterampilan sosial merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan, terutama untuk membantu penderita kesulitan bergaul seperti anak dengan hambatan autis. Teknik ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan teknik psikoterapi lainnya. Keterampilan sosial berasal dari kata trampil dan sosial. Kata keterampilan berasal dari 'trampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar, dari tidak trampil menjadi trampil. Kata sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian pelatihan keterampilan sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal. Jadi terapi sosial merupakan pertolongan bagi anak dengan autisme untuk meningkatkan komunikasi dua arah. Dalam terapi ini anak biasanya akan difasilitasi seorang terapis dengan mengajarkan cara berkomunikasi dengan teman sebayanya. Terapi  perilaku dan bermainpun sangat berperan penting yakni meningkatkan kemampuan  bersosialisasi dan terapis bisa dengan autisme
 Terapi Sosial yang kami jalankan dengan konsep permainan campuran serta melihat minat anak dalah bermain ini tidak hanya memberikan pandangan nilai  permainan saja, namun juga terdapat nilai-nilai edukasi yang mencoba menstimulus  perkembangan interaksi sosial dan motorik anak secara sederhana. Selain itu, disetiap akhir permainan yang ia jalani, apabila ia mampu menyelesaikan petualangan hingga akhir atau minimal mampu mencapai 2 permainan, ia akan mendapatkan sebuah reward berupa hadiah ketika ia pulang kerumah mendapatkan makanan kesukaannya yaitu ice cream.
Indikator grafik kedua ini ialah, secara konkrit grafik ini menggambarkan kuantitas reward yang diperoleh anak pada tiap kali terapi.
Semakin banyak ice cream yang diterima anak (terhitung dari ice cream yang ia dapat di hari pertama hingga hari terakhir) maka pergerakan grafik akan semakin meningkat pula.
Dalam grafik ini tidak ada istilah penurunan, karena sudah tentu akan bertambah setiap kali anak menjalani terapi, jadi gambaran grafik ini akan selalu meningkat.
mengetahui permasalahan si anak dengan memperbaiki kondisi lingkungan anak
























BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari hasil terapi yang dilakukan , dapat di simpulkan bahwa media yang di  gunakan dalam terapi sosial dengan pendekatan bermain kelompok ini terbukti dapat:
 1. Menjadikan anak agar kemampuan interaksinya sebagai subjek bukan sebagai objek 
 2. Meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi dua arah
 3. Meniru Aksi Anak Sebaya
 4. Melakukan instruksi dari anak sebaya
 5. Memberikan respon pada ajakan mainan anak sebaya
 6. Mengajak teman untuk bermain
Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan serta ketertarikan anak dalam menjalani terapi berkonsep permainan disesuaikan dengan minat anak yang terlihat semakin meningkat.

Terapi sosial yang di jalankan dengan metode permainan ini merupakan konsep terapi sosial dengan pendekatan bermain kelompok, karena dunia bermain merupakan hal yang dapat membawa suasana anak menjadi lebih senang dan secara tidak langsung menstimulusnya untuk berinteraksi dengan teman kelompoknya, serta dapat menggambarkan perilaku anak. Di tempat terapi yang di gunakan, sudah tersedia media untuk siap digunakan bersama teman kelompok anak, Anak merasakan dan terlibat dengan apa yang ada di sekitarnya
 ,

B.SARAN
a. Diharapkan dengan adanya laporan ini mahasiswa dapat mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana mengidentifikasi serta memahami bagaimana cara memberikan layanan pendidikan khususnya untuk mengembangkan interaksi sosialnya dan melakukan terapi sosial bagi anak yang mengalami masalah dalam bergaul salah satunya bagi anak autis.
 b. Diharapkan pembaca dapat memanfaatkan laporan ini dengan sebaik-baiknya dan memberikan dampak positif dalam pemahaman bagaimana identifikasi serta memahami mengenai terapi sosial bagi anak autis atau anak yang menujukkan kelainan dalam bergaul dengan orang dilingkungannya.

C. DAFTAR PUSTAKA

                     






Komentar

Postingan populer dari blog ini

OBSERVASI ANAK ADHD

PERAN MASYARAKAT SEKOLAH DALAM MERANGSANG KREATIFITAS DAN BAKAT ANAK

TERAPI ABA PADA ANAK AUTIS