TERAPI BERMAIN DAN TERAPI SOSIAL
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Terapi Bermain
1. Pengertian Bermain
Membicarakan anak tidak dapat meninggalkan pembicaraan
tentang bermain. Bermain adalah dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di
waktu apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu bahasa
yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari
ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat
mengekspresikan apapun yang mereka inginkan. Tak diragukan bahwa anak-anak
bermain sepanjang waktu yang mereka miliki.
Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media
yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, keterampilan
komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan
keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak. Bermain juga dikatakan
sebagai media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal, eksperimen
dalam peran orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri. Bermain adalah
bentuk ekspresi diri yang paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia.
Bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat kompleks dan multi-dimensional,
yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan dan perkembangan anak, yang
lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan dengan kata-kata.
Studi mengenai bagaimana anak bermain telah mengungkapkan
bahwa bermain selama masa kanak-kanak memiliki karakteristik tertentu yang
membedakannya dari permainan remaja dan orang dewasa. Walaupun karakteristik
ini mungkin sedikit bervariasi pada masing-masing anak, aspek utamanya sangat
serupa, sehingga praktis dapat dianggap universal sampai sekarang.
Ketika anak tumbuh dan berkembang, permainan mereka bergerak
jauh dari fantasi menuju ke kenyataan. Dengan bertambahnya kemampuan untuk
berpikir logis dan dapat menggunakan alasan, merupakan persiapan untuk
perkembangan anak dalam tahap “bermain dengan aturan”. Bermain bebas dan
spontan merupakan bentuk bermain aktif yang merupakan wadah anak-anak untuk
melakukan apa,kapan, dan bagaimana mereka ingin melakukan. Tidak ada kaidah dan
peraturan. Anak-anak terus bermain selama kegiatan itu menimbulkan kegembiraan,
kemudian berhenti bila perhatiaan dan kegembiraan dari permainan itu berkurang.
Dalam permainan yang hanya untuk kesenangan mempunyai aturan yang lebih
leluasa, dimana anak sering mengubah atau bahkan melanggar. Tetapi, ketika anak
lebih dewasa, aturan menjadi lebih ketat dan kompetensi lebih tajam
(Djiwandono, 2005).
2. Permaianan sebagai Terapi
Dalam semua kemungkinan semua terapis pada umumnya setuju
bahwa pengalaman terapeutik yang “sukses” untuk anak akan menyebabkan perubahan
yang nyata dan berpengaruh pada tingkah laku anak fisik sama seperti psikologi.
Teknik terapi bermain terlibat karena anak-anak belum dapat
mengekspresikan diri mereka sendiri secara tepat pada tingkat verbal. Bermain
dapat membantu anak dalam perkembangan mereka dan merupakan teknik yang efektif
untuk mengontrol lingkungan mereka yang tampaknya memberikan suatu kesempatan
untuk bereaksi dengan orang dewasa yang berbeda sikap dengan mereka.
Penggunaan bermain dalam terapi anak dapat diadaptasi
menurut orientasi teori yang dianut konselor atau terapi. Dua pendekatan utama
terapi bermain adalah psikodinamika dan client centered. Bentuk terapi bermain
dikembangkan melalui pekerjaan Anna Freud dan Melanie Klein; kemudian yang
paling dekat diidentifikasikan dengan tulisan Virginia Axline. Ada perbedaan
dan persamaan antara dua pendekatan ini.
Terapi bermain berkembang secara perlahan dari usaha awal
mengadaptasi psikoanalisis untuk menyembuhkan anak. Sesudah ditemukan bahwa
anak-anak tidak dapat menggunakan asosiasi bebas untuk menjelaskan kecemasan
mereka. Melanie Klein dan Anna Freud menggabungkan kegiatan bermain ke dalam
proses terapeutik. Klein menggunakan permainan sebagai suatu kegiatan dalam
menganalisis pekerjaan nyata. Klein melihat arti yang tidak disadari dan simbol
seksual dalam sebagian besar kegiatan permainan dan ini diinterpretasikan
kepada anak. Sebaliknya, Anna Freud tidak percaya bahwa semua permaianan mempunyai
arti simbolik dan karena itu dia menggunakan permainan sebagai dasar untuk
menginterpretasi.
Alfred Adler adalah ahli teori pertama yang melepaskan diri
dari pikiran psikoanalisis tradisional. Adler lebih menempatkan pentingnya
sosial dan dinamika antara pribadi dalam perkembangan kepribadian. Walaupun
teori Adler diadaptasi oleh anak-anak dan keluarga mereka, tidak ada model
untuk terapi bermain yang ada sampai sekarang. Hottman (dalam Djiwandono, 2005)
mengadaptasi teori Adlerian dalam proses dan teknik yang digunakan pada anak
dalam terapi bermain, dengan menyusun suatu pendekatan perkembangan yang dapat
digunakan dalam berbagai setting. Beberapa teknik terapi bermain Adlerian,
seperti tracking, restatement of content, reflection of feeling, and encouragement,
dapat digunakan dalam terapi bermain, tanpa memandang orientasi teori terapis.
Terapis yang bebas dan terstruktur, seperti yang dikembangkan oleh Levy dan
Hambridge (dalam Djiwandono, 2005), memperkenalkan atau menciptakan situasi
kehidupan yang menghasilkan kecemasan dalam bermain. Model-model ini ada yang
kurang menekankan pada hubungan, seperti terapis mempersiapkan dan mengarahkan
urutan permainan yang terstruktur, yang mendorong kebebasan emosional melalui
katarsis. Terapi bermain client centered berdasarkan pada kepercayaan terapis
dalam memperjuangkan anak secara wajar terhadap kesehatan dan pertumbuhan.
Virginia Axline (dalam Djiwandono, 2005) memodifikasi pendekatan client
centered (berpusat pada klien) Carl Rogers ke dalam suatu teknik terapi
bermain. Model pertumbuhan ini tergantung pada kreasi dari kehangatan dan
lingkungan terapeutik yang penuh perhatian dan suatu kepercayaan kepada
kemampuan anak untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Pada tahun 1960-an Bernard dan Louise Guerney mengembangan
teknik pembaruan yang dikenal sebagai terapi filial (yang berhubungan dengan
anak). Pendekatan terapi bermain client centered ini melibatkan orangtua yang
sudah terlatih dalam mengatr pertemuan tiap minggu untuk bermain dengan
anak-anak mereka dirumah. Dalam pertemuan bermain antara orang tua dan anak,
anak-anak didorong untuk mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran,dan perasaan
kepada orang tua mereka melalui terapi bermain. Selama proses orang tua dan
anak-anak diharapkan mengubah persepsi mereka satu sama lain. Jika orang tua
menjadi lebih toleran dan menerima anak sebagaimana adanya,anak-anak akan
tumbuh menjadi orang yang percaya diri dan mempunyai perasaan untuk menghargai
diri mereka sendiri.
3. Terapi Bermain
Menurut teori perkembangan anak, yaitu teori kecerdasan
jamak atau multiple intelligence dari Gardner menyatakan bahwa seorang anak
dalam perkembangan inteligensi yang meliputi inteligensi linguistik (bahasa),
kemampuan taktil atau bodily tactile aeareness, interpersonal, intrapersonal,
dan berhitung. Dalam hal ini hendaknya orang tua, guru, dan orang-orang yang
peduli anak autisme mengupayakan bimbingan ke arah upaya mendapatkan
pengalaman-pengalaman nyata yang sesuai dengan keberadaan lingkungan setempat.
Jadi, dalam pemberian kesempatan belajar anak autisme diikuti dengan kegiatan
bermain.
Kita menyadari bahwa otak anak autisme seharusnya dapat
mempelajari pengalaman positif dari lingkungan hidupnya secara aman dengan
melibatkan sensoris tubuhnya secara penuh. Oleh karena itu, terapi bermain yang
diterapkan kepada anak autisme tertuju pada penekanan-penekanan terhadap
hal-hal berikut.
a) Permainan yang cocok.
b) Sensoris motor.
c) Dilakukan dengan gembira dan berfungsi sebagai wahana
hubungan kasih sayang di antara keluarga.
d) Mudah dilakukan, bersifat ekonomis, dan mudah dibuat atau
diperoleh.
Penekanan terhadap sensori motor untuk terapi bermain
dirancang serta diterapkan sesuai dengan sensasi gerak berbentuk informasi dan
pesan-pesan sensoris. Pesan-pesan sensoris dari lingkungan kehidupan yang
datang ke tubuh anak autisme akan diproses dan diintegrasikan oleh otak melalui
sistem saraf pusat (CNS) ke seluruh organ tubuh. Kemudian, menjadi respon
berupa gerakan-gerakan yang berarti serta sesuai dengan pikiran dan perasaan.
Bagi anak autisme pesan-pesan informasi sensoris sulit
dihubungakan ke sensori motor karena ada kemacetan pada sensori motornya. Dalam
ilmu anatomi dan faal tubuh, telah diketahui bahwa semakin banyak otak menerima
rangsangan-rangsangan pengalaman sensoris sejak usia dini, maka kelak anak yang
bersangkutan semakin mudah mempelajari fungsi-fungsi tubuh dalam memebuhi
kehidupan sehari-hari.
Terapi permainan yang diberikan kepada anak autisme harus
cocok atau sesuai. Yang dimaksud dengan kecocokan atau appropiate adalah semua
kegiatan terapi permainan harus diprogram dan dapat dilaksanakan dengan
keberadaan anak autisme. Dengan demikian, tugas-tugas yang diberikan sebagai
bentuk kegiatan latihan terapi dapat dilakukan secara aman, meningkatkan
kesehatan, dan membantu kepuasan diri anak autisme sesuai dengan harapannya.
Program terapi bermain biasanya diikuti dengan irama gerak
yang ritmis sesuai dengan unsur-unsur gerak tubuh berdasarkan persepsi gerak
atau perceptual motor therapy. Hal ini dilakukan agar anak autisme dapat
melatih keterampilan gerak gross motor, fine motor, visual dan perencanaan
gerak atau motor planning.
Terapi bermain memerlukan sebuah kamar bermain dan
bahan-bahan untuk bermain. Kamar harus berwarna cerah, menyenangkan dan jika
mungkin kedap suara. Dinding dan lantai seharusnya dari bahan-bahan yang mudah
di bersihkan dan bahan-bahan yang kuat seperti tanah liat, cat dan palu kayu.
Tempat mencuci dengan air dingin atau air panas sebaiknya tersedia. Untuk
penelitian dan tujuan pelajaran, kamar terapi dapat dilengkapi dengan tape
recording. Kamar terapi juga bisa di lengkapi dengan kaca yang dapat dilihat
hanya dari satu sisi dan suara percakapan anak dan terapis dapat didengar dan
direkam, observasi dapat dibuat tanpa anak menyadari akan kehadiran observer.
Jika observasi dibuat tentu saja syarat-syarat kode etik harus dipenuhi.
Daftar bahan-bahan yang digunakan untuk bermain secara
sukses dalam terapi bermain berkembang terus setiap tahun. Klein (dalam
Djiwandono, 2005) hanya menggunakan beberapa mainan yang masih primitif yang
diletakan dimeja yang rendah. Axline (dalam Djiwandono, 2005) memberikan daftar
yang panjang bahan dan mainan apa saja yang bisa digunakan dalam permainan
anak-anak. Banyak mainan yang lain telah digunakan dengan sukses. Mungkin
bijaksana jika terapis bisa memilih mainan yang begitu banyak bervariasi,
sehingga anak bisa menemukan mainan yang cocok dan sebagai medium yang
menyenangkan untuk mengungkapkan perasaanya.
Beberapa terapis mempunyai kamar khusus untuk terapi bermain,
dan yang lain tdak mempunyai kamar khusus. Membawa barang-barang mainan dalam
tas mereka. Terapis yang beruntung yang mempunyai kesempatan untuk merencanakan
atau mendekorasi tempat khusus untuk terapi anak. Kamar-kamar ini lengkap
dengan meja kursi dan sebagainya, sebagai contoh cara memenuhi kebutuhan anak
dan terapis dalam berbagai lingkungan. Siapapun terapisnya mempunyai tujuan
yang sama dalam menciptakan suasana terapeutik yang dapat mengubah klien atau
anak. Bagian dari suasana ini tergantung pada jenis mainan dan materi-materi
yang dipilih.
a. Memilih mainan dan materi mainan
Ketika
terapis siap untuk mulai terapi bermain, dia membutuhkan beberapa mainan dan
materi mainan untuk memudahkan komunilasi dengan anak. Materi atau bahan mainan
harus dipilih atau diseleksi untuk memudahkan terapeutik pada anak. Mainan
harus sederhana, memunyai konstruksi yang kuat dan sehat, mudah bagi anak
memanipulasi dan diperkuat dengan imajinasi daripada dengan baterai. Pilih
mainan yang mengarah pada stimulasi kognisi, motorik, sosial dan bahasa. Buku
dari kain atau plastik, misalnya, bisa merangsang perkembangan bahasa karena
ada gambar dan hurufnya. Anak juga bisa mengenal bentuk, warna, tekstur, bahkan
bunyi. Rangsangan ini akan membuat sambungan-sambungan listrik di otak
membentuk susunan syaraf mirip pohon yang rimbun. “semakin banyak memperoleh
stimulus, semakin rimbun susunan syarafnya, dan kian cerdas pula si anak”.
Manfaat yang maksimal ini bisa diperoleh jika orang tua mendampingi anak saat
dia bermain.
Ginott (dalam Djiwandono, 2005) salah satu ahli klinis
pertama mengembangkan secara rasional dalam memilih mainan, percaya bahwa
mainan harus :
a) Memudahkan dalam mengembangkan kontak dengan anak.
b) Membangkitkan dan mendorong katarsis.
c) Membantu mengembangkan insight
d) Melengkapi dalam mengetes realita
e) Sebagai media untuk terjadinya perubahan.
Landreth (dalam Djiwandono, 2005) memilih mainan secara
komprehensif dan yang paling rasional, menetukan materi permainan yang
memudahkan anak mengekspresikan secara kreatif dan emosional, menstimulasi
minat anak dan membiarkan anak mengeksplorasi dan mengekspresikan diri dalam
kegiatan yang tida terstruktur.
b. Mainan untuk memudahkan ekspresi
“Mainan adalah kata-kata anak-anak dan bermain adalah bahasa
mereka”. Oleh karena itu terapis, harus memberikan mainan yang dapat memudahkan
anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam rentangan yang luas.
Menurut Ginott (dalam Djiwandono, 2005) suatu ide yang baik untuk memberikan
mainan dimana anak-anak tidak biasa dibiarkan bermain dirumah. Adanya
mainan-mainan ini menyatakan suatu sikap yang permisif dan membantu terapis
mengerti dunia inner anak.
c. Mainan mendorong kreativitas
Beberapa mainan, sudah menjadi sifat dasarnya mendorong
kreativitas. Sebuah kotak yang sudah tua dipojok dapat menjadi rumah boneka
jika rumah boneka tidak tersedia. Dalam memilihmainan, terapis ingin menyimpan
dalam pikirannya barang-barang yang sederhana, yang kadang-kadang dapat
membangkitkan imajinasi.
d. Mainan dapat menyalurkan emosi
Anak dapat menggunakan pasir, air, cat dan tanah liat untuk
menyalurkan perasaannya yang kuat dimana mereka tidak berani mengkomunikasikan
lebih terbuka. Anak dibiarkan untuk mengubah identitas bahan-bahan atau materi
mainan dalam khayalan mereka dalam menciptakan sesuatu yang kreatif. Untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Tanah liat, pasir dan cat dapat dijadikan untuk
“menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin dinyatakan dan dilakukan karena
memalukan”. Anak memerlukan tempat yang aman dalam mengeksplorasi dan
menyalurkan perasaan, seperti dalam permainan pasir dan air dapat membuat
tenang, rileks, dan bahagia pada beberapa anak.
e. Mainan dapat mengekspresikan sifat agresif.
Mainan
senjata, pisau karet, pedang plastik, perisai dari kayu, palu dan catut
menggambarkan kepada anak-anak suatu arti yang mengekspresikan permusuhan dan
agresif. Menembak, menusuk, memukul dan meninju dengan keras adalah ekspresif
simbolik dari kemarahan dan jika anak diberikan kebebasan bermain mungkin akan
memberikan Terapeutik Katarsik dan kesempatan untuk mengumpulkan energi.
f. Bermain dikontrol versus bermain bebas
Ada
perbedaan pendapat apakah bermain seharusnya dikontrol atau bebas. Levy (dalam
Djiwandono, 2005) merasa bahwa mengontrol mainan dengan menyeleksi mainan-mainan
tertentu, dapat digunakan untuk memecahkan konflik-konfliknya.
Axline dan Mousetakas (dalam Djiwandono, 2005) berpegang
pada anak boleh memilih secara bebas permainan yang mereka sukai. Mereka
mengatur kamar bermain dengan cara-cara sama untuk semua anak, dengan semua
alat-alat yang tersedia yang dapat digunakan oleh anak-anak secara bebas.
Memilih materi mainan secara spontan mengurangi kepalsuan, anak memilih
medianya sendiri dan melanjutkan sesuai dengan kecepatannya. Terapis bahkan
tidak boleh tahu masalah yang dihadapi oleh anak. Bermain bebas dan bermain
dikontrol, kelihatannya mempunyai keunggulan dalam membantu anak memecahkan
masalahnya.
4. Efektifitas Terapi Bermain
Dengan melakukan latihan-latihan yang dibimbing oleh para
ahli terapi tersebut anak autisme dapat melakukan gerak dan memahami semua
informasi yang datang melalui otaknya dengan cara bermain yang bersifat
menggembirakan, bermakna dan dilakukan secara ilmiah. Hal ini dimaksudkan agar
usaha yang dilakukan terapis dapat meningkatkan respon-respon adaptif yang
rumit. Penekanan bentuk terapi semacam ini untuk peningkatan keberfungsian
hubungan mesra antara anak dengan anggota keluarga. Permainannya dapat
meningkatkan kemapuan dasar untuk bergerak bersamaan dengan penggunaan daya
pandang. Hal penting lainnya, bahwa kegiatan terapi ini hendaknya dapat
diterapkan dengan mudah, sesuai dengan keperluan, memenuhi persyaratan
ekonomis, ramah lingkungan, dan sesuai dengan hasrat hati anak autisme. Terapi
bermain, seperti bermain dengan alat sederhana dapat membantu orangtua untuk
berinteraksi secara aktif dengan anak autisme. Terapi bermain meningkatkan
kemampuan anak untuk bersosialisasi, berkomunikasi, gerak dan kognisi,
imajinasi, sensori dan integrasi.
E.
Hasil Analisis Penulis
Peneliti menyadari bahwa autisme tidak ada obatnya, akan
tetapi dengan diagnosis dan intervensi yang lebih awal, peningkatan yang
terkadang substansial dapat terjadi. Autisme merupakan gangguan yang ditandai
dengan keterlambatan dan gangguan yang parah pada beberapa area perkembangan,
seperti pada interaksi sosial, komunikasi dengan orang lain, perilaku bermain,
aktivitas sosial, dan minat sehari-hari. Terapi bermain merupakan salah satu
terapi yang cocok digunakan untuk mengurangi gejala pada anak penyandang
autisme dari sekian banyak terapi yang dapat diberikan kepada penyandang autis.
Dengan terapi bermain, anak dilatih ketrampilan gerak gross motor, fine motor,
visual dan perencanaan gerak atau motor planning. Yang perlu kita ingat, yaitu
kegiatan terapi sebaiknya dilakukan dengan gembira dan berguna untuk melakukan
jalinan hubungan kasih sayang diantara keluarga anak autisme. Sehingga
interaksi sosial anak autisme pun dapat meningkat.
B. Teori Terapi Sosial
Terapi
keterampilan sosial merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang mulai
banyak digunakan, terutama untuk membantu penderita kesulitan bergaul seperti
anak dengan hambatan autis. Teknik ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal
maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan teknik psikoterapi
lainnya. Keterampilan sosial berasal dari kata trampil dan sosial. Kata
keterampilan berasal dari 'trampil' digunakan di sini karena di dalamnya
terkandung suatu proses belajar, dari tidak trampil menjadi trampil. Kata
sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu
kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian pelatihan
keterampilan sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan
kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak
trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik
dalam hubungan formal maupun informal. Jadi terapi sosial merupakan pertolongan
bagi anak dengan autisme untuk meningkatkan komunikasi dua arah. Dalam terapi
ini anak biasanya akan difasilitasi seorang terapis dengan mengajarkan cara
berkomunikasi dengan teman sebayanya. Terapi perilaku dan bermainpun
sangat berperan penting yakni meningkatkan kemampuan bersosialisasi dan
terapis bisa dengan autisme
Terapi Sosial yang kami
jalankan dengan konsep permainan campuran serta melihat minat anak dalah
bermain ini tidak hanya memberikan pandangan nilai permainan saja, namun
juga terdapat nilai-nilai edukasi yang mencoba menstimulus perkembangan
interaksi sosial dan motorik anak secara sederhana. Selain itu, disetiap akhir
permainan yang ia jalani, apabila ia mampu menyelesaikan petualangan hingga
akhir atau minimal mampu mencapai 2 permainan, ia akan mendapatkan sebuah
reward berupa hadiah ketika ia pulang kerumah mendapatkan makanan kesukaannya
yaitu ice cream.
Indikator
grafik kedua ini ialah, secara konkrit grafik ini menggambarkan kuantitas
reward yang diperoleh anak pada tiap kali terapi.
Semakin
banyak ice cream yang diterima anak (terhitung dari ice cream yang ia dapat di
hari pertama hingga hari terakhir) maka pergerakan grafik akan semakin
meningkat pula.
Dalam
grafik ini tidak ada istilah penurunan, karena sudah tentu akan bertambah
setiap kali anak menjalani terapi, jadi gambaran grafik ini akan selalu
meningkat.
mengetahui
permasalahan si anak dengan memperbaiki kondisi lingkungan anak
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
hasil terapi yang dilakukan , dapat di simpulkan bahwa media yang di gunakan dalam terapi sosial dengan pendekatan
bermain kelompok ini terbukti dapat:
1. Menjadikan
anak agar kemampuan interaksinya sebagai subjek bukan sebagai objek
2.
Meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi dua arah
3.
Meniru Aksi Anak Sebaya
4.
Melakukan instruksi dari anak sebaya
5.
Memberikan respon pada ajakan mainan anak
sebaya
6.
Mengajak teman untuk bermain
Hal
ini ditunjukkan dengan kemampuan serta ketertarikan anak dalam menjalani terapi
berkonsep permainan disesuaikan dengan minat anak yang terlihat semakin meningkat.
Terapi
sosial yang di jalankan dengan metode permainan ini merupakan konsep terapi
sosial dengan pendekatan bermain kelompok, karena dunia bermain merupakan hal
yang dapat membawa suasana anak menjadi lebih senang dan secara tidak langsung
menstimulusnya untuk berinteraksi dengan teman kelompoknya, serta dapat
menggambarkan perilaku anak. Di tempat terapi yang di gunakan, sudah tersedia
media untuk siap digunakan bersama teman kelompok anak, Anak merasakan dan terlibat
dengan apa yang ada di sekitarnya
,
B.SARAN
a.
Diharapkan dengan adanya laporan ini mahasiswa dapat mengetahui lebih dalam
mengenai bagaimana mengidentifikasi serta memahami bagaimana cara memberikan
layanan pendidikan khususnya untuk mengembangkan interaksi sosialnya dan
melakukan terapi sosial bagi anak yang mengalami masalah dalam bergaul salah
satunya bagi anak autis.
b.
Diharapkan pembaca dapat memanfaatkan laporan ini dengan sebaik-baiknya dan
memberikan dampak positif dalam pemahaman bagaimana identifikasi serta memahami
mengenai terapi sosial bagi anak autis atau anak yang menujukkan kelainan dalam
bergaul dengan orang dilingkungannya.
C. DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar